Siapa yang mengira tahi lalat bisa membuat para pria mabuk kepayang?...
"Sialan! Apa yang dilakukan wanita itu di sini?" Eirik bergegas menenggak sisa ale di goblet kayunya, lalu membantingnya di atas meja. Selama itu, ia mengawasi dengan kesal saat figur semampai bagaikan alang-alang dengan anggun mengangkat pinggiran gaun yang bergelombang dan melangkah dengan hati-hati ke arahnya melalui rush yang kotor.
"Itu pasti Lady Eadyth of Hawks' Lair," Wilfrid, pekerja kastil juga sekaligus sahabat lamanya, berkomentar.
"Kupikir aku sudah memerintahkan para penjaga di gerbang untuk mencegahnya masuk kalau dia datang tiba-tiba."
"Sepertinya wanita itu akhirnya berhasil menemukanmu," kata Wilfrid sambil tergelak.
"Tampaknya, kegigihannya patut diacungi jempol."
"Hah! Aku sudah melihat cukup banyak ibu-ibu dan para wanita yang terlalu bersemangat selama dua tahun ini aku pergi dari Ravenshire. Yang kuinginkan hanyalah sedikit kedamaian untuk..."
Percakapan mereka terputus seketika saat terdengar suara dengkingan keras seekor anjing. Mata Eirik membelalak terkejut ketika melihat Eadyth mendorong hewan itu dengan ujung sepatu kulitnya ketika anjing itu melebarkan kaki belakang dan berjongkok di lantai dekat kaki Eadyth. Bahkan melalui cahaya Temaram berkabut di aula besar itu, Eirik bisa melihat bibir Eadyth melengkukung tak senang saat ia melihat "kado" menjijikkan yang ditinggalkan anjing pemburu yang besar itu. Dengan berkacak pinggang, wanita kurang ajar itu menatap galak anjing yang merintih itu sampai hewan itu dengan patuh menghilang dari pandangannya.
Eirik dan Wilfrid tak mampu menahan tawa, begitu pula dengan para kesatria kasar yang bersantai bersama mereka di aula itu. Tak Ada wanita yang tinggal di sana, kecuali para pelayan. Syukurlah! Ia berharap keadaan tidak berubah.
"Dasar wanita kurang ajar!" gumam Eirik akhirnya, menyeka air mata dari matanya dengan lengan tuniknya yang usang. "Pertama dia menerobos masuk tanpa diundang ke dalam rumahku. Lalu dia menendang anjingku. Apakah aku harus mendorong bokong kurusnya dengan separu botku dan mengirimnya keluar?"
"Oh, biarkan dia bicara. Mungkin 'hal genting' yang ingin didiskusikannya ini akan memberikan hiburan untuk mengurangi kebosanan kita."
Eirik mengangkat bahu. "Barangkali. Setidaknya, aku memang selalu ingin melihat dari dekat si Perhiasan Perak dari Northumbria."
"Bukan, Eirik. Apa kau belum dengar? Perhiasan itu sudah lama hilang kemilaunya. Apa kau tak tahu para penggosip di istana sekarang menjulukinya 'Perhiasan yang Tercemar'?" Wilfrid buru-buru membisikkan penjelasan.
Alis mata Eirik terangkat dengan minat dan keraguan. Ia sangat tahu dari pengalaman getirnya sendiri betapa sadisnya para bangsawan di istana King Edmund, tapi ia masih ragu apakah kata-kata Wilfrid itu benar.
Sementara itu, wanita itu masih berjalan dengan mantap ke arah panggung tempat mereka duduk. Seorang pelayan, wanita gemuk dan beberapa staf pelayan mengikuti di belakangnya seperti anak itik yang mengekori seekor angsa yang kurus kering.
Pada saat itu, wanita itu berhenti dan mengangkat hidungnya dengan gaya congkak, seolah mengendus udara disekitarnya. Lalu ia mengarahkan tatapan tajam pada Ignold, salah satu pelayam kepercayaan Eirik, dan melontarkan beberapa ucapan pedas ke arahnya. Prajurit berubuh besar yang terkenal garang di medan tempur dan tak kenal gentar itu, hanya memandang wanita itu dengan mulut ternganga.
Eirik bisa menerka apa yang dikatakannya.
Setelah memenangi ibukota Norse di Jorvik awal tahun itu, lalu menaklukkan seluruh Strathclyde, King Edmund mengirim Eirik sebagai utusannya di bawah standar Golden Dragon kepada Duke of Normandy untuk menegosisasikan pembebasan keponakan Edmund, Louis d'Outremer. Louis ditangkap oleh Northmen of Rouen musimpanas sebelumnya kemudian diselamatkan oleh Duke of the Franks, yang lalu menyekapnya sebagai sandera selama beberapa bulan belakangan ini. Akhirnya, setelah berbulan-bulan melalui tawar menawar yang alot dan banyak rintangan, Louis bisa kembali ke kerajaannya di Frank.
Banyak dari pasukan Eirik sudah berpencar di malam itu setelah perjalanan panjang kembali dari Frankland. Mereka mengikuti grup pelayan yang lebih kecil yang telah menemaninya kembali dua minggu lalu. Setelah berminggu-minggu berada di kapal, lalu berkuda tanpa mandi, tubuh mereka menjadi benar-benar bau. Bahkan Eirik sendiri mengendus bau tajam menyengat tubuh yang telah lama tak di basuh itu saat ia tadi melintas menuju kamar tidurnya. Ia Yakin, wanita kurang ajar dari Hawks' Lair itu pasti menyuarakan hal yang sama.
Wanita itu terus berjalan ke arahnya, mengabaikan komentar-komentar tak senonoh yang dilontarkan anak-anak buah Eirik yang duduk berkerumun sambil minum-minum atau bermain dadu. Tampaknya mereka semua sudah terlalu lama hidup di luar masyarakat yang santun.
Sengatan rasa bersalah menusuk hati nurani Eirik. Mungkin ia sudah bersikap kasar mengabaikan surat-surat wanita itu yang meminta bantuan dalam "masalah penting" yang tak dijelaskannya. Tapi ia benar-benar kelelahan setengah mati dari dua tahun bertempur dan ditambah lagi membawa pesan-pesan dari rajanya, belum lagi terus menerus mengelak dari serangan panas intrik politik. Ia sama sekali tak mau berurusan dengan kehidupan rumit para bangsawan - pria atau wanita. Hanya sedikit ketenangan, itu saja yang dimintanya.
Eirik bersandar di kursinya, dengan santai bersedekap dan menyilangkan kaki panjangnya. Ia menyipitkan matanya dan mempelajari Eadyth lebih dekat, nyaris tak bisa melihat tubuhnya atau wajahnya di balik pakaian longgar dan cadar yang dikenakannya. Mata Eirik berair karena asap dan ia lebih menyipitkannya lagi.
Wanita itu tampaknya memiliki rambut berwarna abu-abu yang diikat dengan erat ke belakang di bawah tudung kepalanya yang berwarna tanah. Tak ada untaian yang keluar untuk melunakkan wajahnya yang keras.
Sambil tercenung, Eirik membelai kumisnya dengan jari telunjuknya, kebiasaannya jika sedang bingung atau berkonsentrasi. "Tak kusangka dia sudah berumur."
"Aku juga begitu."
Mereka berdua kembali mengamati wanita yang mereka bicarakan. Wanita itu tinggi dan langsing, kalau bisa diukur dari pergelangan kakinya yang ramping yang tampak saat ia mengangkat pinggiran gaunnya untuk menghindari kotoran. Payudaranya tampak rata, serata perisai tempur Eirik. Tapi ekspresi masam di wajahnya yang paling mengganggu. Ya Tuhan! Ia datang meminta bantuan, tapi tak bisa mengendalikan raut masamnya.
Eirik tersenyum. Ia akan menikmati memainkan permainan kucing dan tikus dengan wanita congkak ini.
Sambil berdeham, wanita itu memanggil dengan lancangnya dari bawah anak tangga panggung tempat mereka duduk, "Dengan izinmu, My Lord Ravenshire, aku meminta waktu untuk berbicara denganmu mengenai masalah yang penting."
Masalah penting! Masalah penting! Semua bilang begitu saat minta tolong. Eirik mengangguk dengan enggan, dan melambaikan tangan kanannya ke arah salah seorang pelayannya, mengisyaratkan untuk menjamu para pengiring Eadyth dengan makanan dan minuman.
"Tampaknya anda tidak menerima surat yang saya kirimkan," ujar wanita itu dalam suara yang kaku, bibirnya melengkung tegang. Dua kerutan tipis di antara alisnya memperlihatkan pandangan tajam yang permanen. Eirik nyaris meledak tertawa saat ia menyadari bahwa wanita itu dengan susah payah berusaha bersikap merendah di depannya, padahal wanita itu sebenarnya sangat ingin mencetuskan kata-pedas untuk menghujatnya.
"Aku menerima suratmu."
Saat Eirik tak mau menjelaskan lebih lanjut, mulut Eadyth ternganga, mengejutkannya memperlihatkan barisan gigi putih yang sehat untuk seseorang yang begitu tua. Eirik membelai kumisnya dengan saksama dan menyipitkan matanya agar bisa lebih cermat memandang Eadyth. Selain kerutan di sekitar mata dan mulutnya, wanita itu sepertinya tak setua yang dipikirkannya. Malahan, kulit wajahnya tampak begitu halus karena krim baru di tempat-tempat dimana lipatan itu berada tak mengerut dengan buruk. Eirik berharap bisa mengamati lebih baik, sayangnya penglihatannya yang buruk membuatnya melihat lebih samar dalam jarak dekat.
"Ah! Pria yang jujur. Betapa menyenangkannya!"
"Apa kau berharap sebaliknya? Ini adalah sifat yang menurutku lebih penting dari yang lain... kejujuran, maksudku," sembur Eirik, anehnya merasa tersinggung dengan sikap Eadyth yang puas dengan pengakuannya bahwa ia sudah menerima suratnya dan dengan kasar tak membalas.
Jawaban Eirik tampak sangat memuaskan Eadyth. "Ya, seringnya aku memperkirakan orang tak akan jujur. Tak banyak pria yang benar-benar bisa dipercaya menurut pengalamanku."
"Atau wanita?"
"Atau wanita," ujarnya sambil mengangguk singkat, menghargai Eirik dengan berani.
Sekilas senyuman terbentuk di sudut-sudut bibir Eadyth yang indah dengan lekuka dalam di tengahnya dan tahi lalat kecil hitam tepat di atas sudut kanan bibirnya. Sejujurnya, wanita itu tak sejelek kuda seperti dugaan Eirik awalnya. Oh, hidung mancungnya terlalu kuat dan angkuh untuk seleranya, belum lagi dagunya yang mencuat dengan congkak, tapi kalau bukan karena rambut abu-abu dan tubuh sekurus sapu, wanita itu bisa dikatakan lumayan cantik. Mengamati lebih dekat, Eirik bisa melihat sekarang bahwa wanita itu dulunya cantik di masa mudanya -- Perhiasan Perak dari Northumbia.
Tangan Eirik terulur Tanpa sadar membelai kumisnya. Sesuatu dalam penampilan wanita itu memberinya perasaan aneh. Namun ia teringat kata-kata Wilfrid tentang skandal yang melingkupi wanita itu. Itu adalah teka-teki yang belum bisa dipecahkan Eirik. Ia tersenyum sendiri merenungkan prospek memecahkan misteri itu.
"Boleh aku bergabung denganmu?"
"Tentu saja," jawab Eirik, karena merasa malu hati sendiri, seperti seorang anak kecil, karena kata-kata halus yang diucapkan Eadyth menyindir sikapnya yang tak santun pada tamu. Ia brediri dan membantu Eadyth menaiki panggung tinggi itu, menyadari kurusnya lengan wanita itu dibalik bahan tebal pakaiannya. Oh Tuhan, di mana wanita ini menemukan warna kain russer yang sejelek itu? Eadyth cukup jangkung dibanding wanita kebanyakan tapi masih belum sampai setinggi bahu Eirik, pikir Eirik saat ia mengenalkannya pada Wilfrid.
Sebelum duduk, Eadyth memeriksa kursinya, sepertinya mencari debu. Persetan! Ia baru pulang beberapa pekan dan punya banyak urusan yang lebih penting dari pada menangani para pelayan yang tak becus. Eirik tak kesal saat Wilfrid mengomelinya untuk memberi dana demi memperbaiki keadaan Ravenshire, tapi berbeda halnya dengan tamu tak diundang ini yang memandang rendah dirinya dan rumahnya.
Sambil mengulurkan tangan mengambil gelas kosongnya, Eirik memandang wanita itu dengan tajam lalu menyeka pinggir goblet itu dengan lengan baju jubahnya hanya untuk membuat kesal wanita yang rewel itu. Lalu Eirik menuangkan minuman untuk tamunya itu dan menawarkan dengan ramah, berharap memperbaiki kekurangsopanannya tadi. Eirik melihat betapa wanita itu berhati-hati agar jari mereka tak bersentuhan. Dan, saat Eadyth menyesap ale-nya, Eirik mau tak mau melihat hidung wanita itu sejenak mengernyit menandakan ketidaksukaannya.
"Kau tak suka anjing dan ale, rupanya," komentar Eirik menyelidik.
"Tidak, itu tak benar. Aku cukup suka anjing, pada tempat mereka yang benar, di luar aula dan dapur. Dan tentang ale-mu, ini lumayan." Dagu wanita itu terangkat sedikit congkak. "Meskipun demikian, aku adalah orang yang pemilih. Aku membuat minuman yang terbaik di seluruh Northumbria dari madu hasil ternakku sendiri."
"Sungguh? Luar biasa. Bukan karena kau membuat minumanmu sendiri, tapi bahwa kau menyanjung dirimu sendiri."
Mata Eadyth menyorot galak dan mereka saling berpandangan, pipi Eadyth bersemburat merah.
Bagus! Pikir Eirik.
"Aku harus mengakui koreksimu atas tingkah lakuku yang tak pantas, My Lord. Memang benar aku tak sopan. Aku sudah kehilangan tata cara bertingkah laku, selama bertahun-tahun ini aku hidup di luar masyarakat," Eadyth Edyth meminta maaf tanpa sedikitpun merasa malu. "Sering aku lupa bahwa para lady seharusnya bersikap malu-malu dan lemah. Ayahku mendidikku untuk mandiri."
Bahkan jika Eirik tak memperhatikan dagu Eadyth yang congkak, yang cenderung terangkat, Eirik memiliki firasat bahwa wanita itu jarang merendahkan dirinya. Nada kerapuhan yang sangat samar di ujung suara Eadyth, membuat Eirik melunak.
"Dia pria yang baik... Ayahmu. Aku bertemu Arnulf beberapa tahun lalu saat dia datang mengunjungi kakekku, Dar. Aku ikut berduka mendengar kematiannya."
Eadyth mengangguk menanggapi ungkapan belasungkawa dari Eirik.
"Seingatku, kau tak punya saudara laki-laki, lanjutnya. "Siapa yang mengurus Hawks' Lair?"
"Aku."
Terkejut, Eirik tersedak ale yang sedang diminumnya dan Wilfrid menepuk punggungnya menenangkan.
Bibir Eadyth terangkat membentuk senyuman mengejek, dan sekali lagi perhatian Eirik tertuju pada tahi lalat kecil di dekat mulutnya. Ia pernah mendengar ada wanita yang sengaja membubuhkan tahi lalat di wajah mereka. Mungkinkah tahi lalat itu juga palsu? Tak mungkin! Seorang wanita yang menata rambutnya ke belakang seperti seorang biarawati dan mengenakan pakaian yang begitu membosankan akan meremehkan hiasan semu semacam itu.
"Kenapa reaksi pria selalu begitu? Sungguh, aku tak mengerti kenapa pria bersikeras memercayai bahwa wanita tak mampu melakukan apapun kecuali bergosip dan menjahit."
Eirik mencondongkan duduknya ke depan dan memandang Eadyth dengan rasa ketertarikan baru. "Menurut pengalamanku kebanyakan wanita itu makhluk bodoh, yang licik dan cukup puas melakukan hal yang tak lebih dari itu. Itu fakta yang kulihat dari istriku sebelum dia tewas. Kalau bukan karena butuh keturunan, kurasa kebanyakan pria akan menghindari ranjang pernikahan dan memilih mendapatkan permainan ranjang mereka di tempat lain."
Keterusterangan kata-kata Eirik tampaknya tak sedikit pun menggelitik kepekaan feminin Eadyth. Bahkan, wanita itu tampak menghargai kejujurannya.
Jemari Eadyth menelusuri pola tak terlihat di permukaan meja sambil mengamati Eirik lebih dekat. Kenapa? Eirik bertanya-tanya. Eadyth menjilat bibirnya dengan gugup, yang membuat Eirik kembali mengarahkan pandangannya ke arah tahi lalat yang terpampang nyata itu. Eirik memandangnya, terpesona, saat ujung merah jambu lidah Eadyth secara tak sadar menelusuri jalur dari satu sudut mulut, ke cekungan, ke sudut yang lain, lalu menyapu bibir bawahnya yang penuh. Bagaimana rasanya jika ia melakukan dengan lidahnya sendiri? Eirik berfantasi, merasakan seketika sesuatu membengkak di pangkal pahanya.
Demi semua orang suci! Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia bertingkah seperti bocah ingusan. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama tanpa sentuhan wanita kalau seorang wanita yang sudah tak muda pagi bisa membuatnya bereaksi.
Dan si wanita kurang ajar itu mengamatinya dengan cara penelusuran yang aneh. Sungguh, Eadyth wanita yang paling tak biasa.
"Apakah matamu biru... biru pucat seperti langit musim panas... seperti yang kudengar?" tanya Eadyth tiba-tiba, membuyarkan pikiran penuh berahinya.
Bingung dengan pertanyaan aneh Eadyth, Eirik sedikit menarik diri. "Ya, begitulah... warisan dari nenek moyang Vikingku."
Ya ampun! Kenapa wanita tua itu peduli apakah matanya berwarna biru langit atau coklat tanah?
"Kau tak terlihat seperti seorang dari Norse. Rambutmu hitam, kan?" tanyanya dengan santai, tapi Eirik bisa menebak dengan melihat buku jari-jarinya yang memutih, yang bahkan tampak di keremangan aula itu, bahwa jawaban Eirik penting baginya.
Apa sebenarnya tujuan wanita ini, menanyakan pertanyaan bodoh tentang warna rambut dan matanya? Eirik bersandar di kursinya dan memandangi Eadyth dengan curiga dari matanya yang menyipit. "Aku hanya separuh Viking. Ibuku orang Saxon." Ia menggigit bibir bawahnya karena kesal tak bisa menebak tujuan wanita itu, lalu melanjutkan dengan nakal, "Apa kau mau melihat bagian tubuhku yang separuh Viking?"
Wilfrid terkekeh di seberangnya, tapi Eadyth hanya tersipu dan pura-pura tak mendengar kata-katanya.
"Maksudku keperkasaanku di medan tempur," tambahnya mengejek, mengangkat dan memamerkan sebelah lengannya yang berotot, "dan kelihaianku bermanuver tanpa cela di antara kekacauan politik Saxon." Eirik menepuk kepalanya seolah-olah menunjukkan bahwa kepalanya itu bukannya tak berisi.
Eadyth, yang tampaknya tak punya selera humor, tak tersenyum menanggapi gurauannya. Alih-alih, ia dengan serius merapatkan bibirnya membentuk garis lurus sambl mengamati Eirik dengan berani. Akhirnya, ia bertanya, "Bolehkah kita bicara secara pribadi, My Lord?"
Eirik mempertahankan ekspresi datarnya, menyembunyikan kekagetannya, sebelum mengisyaratkan pada Wilfrid untuk meninggalkan mereka sejenak.
Seolah-olah memikirkan masalah yang serius, Eadyth mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan penuh pertimbangan di permukaan meja sebelum tampak membuat keputusan. Ia menunggu sampai Wilfrid turun dari panggung, lalu memandang langsung mata Eirik.
***
Kalau menyangkut lamaran untuk menikah, lamarannya buruk sekali...
"Aku perlu menikah secepatnya," sembur Eadyth tanpa tedeng aling-aling. "Apakah kau tertarik menjadi pasanganku?"
Eadyth memandang ksatria kekar itu yang berusaha tidak menganga karena terkejut. Setelah ia bisa mengatasi kekagetannya akibat lamaran tak terduga Eadyth, wajahnya berubah menjadi topeng tanpa ekspresi saat memahami tingkah aneh Eadyth.
Hah! Lelaki begitu transparan mereka pikir wanita tak mampu berpikir logis, dan disitulah kelemahan mereka, Eadyth telah mendapat pelajaran demi pelajaran selama delapan tahun ini tentang kekuasaan pria atas wanita. Tapi itu bukan kekuasaan yang mutlak, dan ia menjadi ahli untuk mengungguli mereka. Bukankah ia sudah membuktikan berkali-kali dengan kemampuannya mengatur Hawks' Lair dan menjual produknya sendiri di pasar Jorvik -- madu, arak madu, dan lilin lebah terbaik di seluruh Northumbria?
Sangat berat bagi Eadyth untuk datang merendahkan diri di depan Lord of Ravenshire yang tampan dan pandai bersilat lidah ini. Seolah-olah Eirik peduli apakah sosoknya yang terpahat indah itu bisa meluluhkan hati para gadis dari Yorshire sampai Strathclyde! Atau bahwa kata-kata manisnya bisa menyebabkan biarawati yang suci kehilangan kendali dirinya. Eadyth tak menginginkan pria mana pun menjadi suaminya, dan yang jelas bukan pria kasar dengan pakaian buruk di kastilnya yang nyaris runtuh, yang memandangnya rendah dengan arogan, nyaris tak mampu menutupi penghinaannya.
Demi St. Bridget! Gagasan memasuki ikatan perkawinan membuat Eadyth mengernyit benci. Ikatan! Itu satu-satunya kata yang penting di sini. Selama bertahun-tahun ini, ia menolak menjadi milik pria mana pun.
Tapi kini ia tak punya pilihan. Ia sudah kehabisan waktu. Yang bisa dilakukannya adalah mendapatkan transaksi perjanjian pertunangan terbaik, perjanjian yang bisa menguntungkan calon suaminya tapi tetap memberinya kebebasan. Akankah Lord of Ravenshire ini setuju?
"Mungkin aku salah dengar, My Lady. Apakah kau baru saja melamarku?" saat Eadyth mengangguk dan dengan menantang mengangkat dagunya, Eirik mendengus sebal. "Seharusnya dalam soal ini kau tak bertindak sendiri."
"Siapa yang akan melakukan negosiasi untukku? Ayahku sudah tewas. Aku tak punya keluarga." Ia mengangkat bahu. "Apa kau begitu kaku dan takut kejantananmu berkurang sehingga kau tak mau berurusan langsung dengan seorang wanita?"
Eirik menegakkan duduknya, otot berkedut di rahang kotaknya menghadapi tantangan Eadyth. "Hati-hati bicara, wanita bodoh. Dengarkan baik-baik, aku tak takut padamu, tidak pada pria mana pun atau wanita mana pun. Kau ingin langsung berurusan denganku. Baiklah, kau mendapatkannya. Kukatakan langsung... jawabanku adalah 'Tidak.' Aku tak tertarik tuk menikah denganmu."
Eadyth merasa malu, semburat merah bergerak ke atas lehernya dan mewarnai pipinya. Kenapa ia tidak bisa menahan lidahnya? Terbiasa berurusan dengan para pedagang yang licik dan orang-orang kasar, ia terkadang lupa bersikap diplomatis. Dengan hati-hati, ia menahan ledakan kemarahannya dan memaksakan dirinya bertindak hati-hati sebelum bicara lagi.
"Maafkan aku, My Lord, karena kata-kataku yang serampangan. Kegentingan situasiku membuatku tak mampu mengendalikan lidah, tapi, tolong... tolong jangan menolak lamaranku sebelum kau mendengar detailnya."
Eirik menuang lebih banyak ale ke dalam goblet kayunya dan menyesapnya perlahan, mengamati Eadyth dari matanya yang menyipit, dan tampaknya mendapati bahwa Eadyth tidak memiliki figur yang dicarinya dari seorang istri. Itu tidak mengejutkan Eadyth. Bahkan, ia berusaha sebaik-baiknya untuk tak menarik perhatian pria sejak ia membuat kesalahan yang mengerikan delapan tahun lalu.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, My Lady, aku tak tertarik menikah lagi... dengan wanita mana pun. Sekali sudah cukup."
"Selamanya?" tanya Eadyth, terkejut. "Kupikir semua pria butuh mendapatkan keturunan sebagai ahli waris. Istrimu tak memberikanmu putra, kan?"
Eirik menggeleng. "Adikku Tykir adalah ahli warisku, dan aku tak ingin menggandakan diriku sendiri." Eirik menelengkan kepalanya bertanya-tanya, seolah-olah ia baru memikirkan sesuatu yang penting. "Lagi pula, kurasa kau sudah tak dalam usia bisa mengandung."
"Hah!" komentar Eirik menyadarkan Eadyth. Memang benar banyak gadis yang menikah pada usia empat belas tahun, tapi ia baru berusia dua puluh lima tahun dan jelas masih dalam usia produktif. Bukannya ia mau hamil. Dan yang jelas bukan dengan pria sebarbar Eirik. Tapi memangnya Eirik pikir berapa umurnya?
Aaah! Kemudian Eadyth sadar seketika, sambil menyentuh topinya, rambut peraknya yang membuat Eirik salah menerka umurnya -- itu dan pakaian longgar yang sengaja dikenakannya yang menyembunyikan dengan baik lekuk tubuh femininnya. Untung saja Eirik tak melihatnya pagi ini saat ia berusaha menata rambut berombaknya yang liar sepanjang pinggang di bawah topinya, akhirnya terpaksa menggunakan lemak babi untuk merapikan dan mengikat rambut lebatnya yang berombak itu. Tampaknya, lemak itu juga berhasil menyembunyikan rambut pirang emasnya di balik warna peraknya.
Tapi kemudian gagasan lain terlintas di kepalanya. Mungkin tebakan salah Eirik akan usianya bisa menguntungkannya. Setelah pengalamannya yang tak mengenakkan--tepatnya, mengerikan--dengan gairah pria, ia tak berminat mengalaminya lagi. Mendalami peran barunya sebagai wanita tua, Eadyth nyaris tersenyum saat ia membungkukkan sedikit bahunya dan memaksakan suaranya sedikit bergetar, mengelak Dari pertanyaan Eirik. "Heh! Heh! Heh! Tampaknya usiaku tak penting kalau kau ingin punya keturunan. Justru, bisa menguntungkan Kita berdua."
Minat Eirik tergerak, ia mengusap rambut hitam arangnya yang terurai sampai ke bahunya. Lalu membelai sekilas kumisnya, tindak tanduk yang beberapa kali dilihat Eadyth saat pria itu mengawasinya seperti burung yang waspada--ya, seperti burung gagak. Dan mata Eirik sering menyipit. Akhirnya, alisnya terangkat bertanya-tanya di atas mata biru yang bening itu.
Ya Tuhan! Seorang wanita bisa terhanyut ke dalam sorot mata yang memesona itu, Eadyth mengakui, lalu dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri karena memikirkan hal tersebut. Sebenarnya, Eirik tak setampan Steven, biang kerok masalahnya. Penampilan Steven terpoles rapi dan sosoknya nyaris sempurna, sementara keindahan Eirik tampak mentah dan terlalu jantan, Eirik terlalu maskulin untuk selera Eadyth. Dalam cara yang aneh, lelaki itu membuatnya takut.
Memaksakan diri untuk kembali menghadapi kenyataan, Eadyth melanjutkan, "Biarlan aku berterus terang..."
"Kenapa berhenti?"
Eadyth melayangkan tatapan galak. Ia akan mengabaikan kekurangajarannya untuk sekarang. Tap ia tak bisa menahan Buku jarinya mengepal dan membuka dengan tegang saat ia bicara. Demi Tuhan, betapa sulitnya menelan gengsinya karena merendahkan diri.
"Aku perlu menikah secepatnya. Suamiku harus bisa memimpin pasukan di medan tempur, tapi yang lebih penting lagi adalah lihai dalam politik... berbakat dalam politik, menghindari konfrontasi, jika mungkin. Apa kau mengerti maksudku?"
"Kenapa aku?" tanya Eirik singkat. "Sudah jelas kau tak tertarik pada pesonaku yang tak terhingga."
Eirik mengawasi dengan penuh minat, reaksi dari tangan Eadyth yang gugup. Eadyth berusaha mengendalikan dirinya. Eirik melihat terlalu banyak. Namun pada saat yang bersamaan, Eirik juga tak melihat penampilan Eadyth yang sesungguhnya. Aneh selalu!
Dan komentar usil Eirik tantang "pesona" membuatnya gusar. Apa Eirik mempermainkannya, menganggap lamarannya yang setengah hati sebagai alasan menjadikannya lelucon? Tentu saja begitu.
Dalam benaknya, Eadyth sudah melewati usia untuk tertarik pada sokongan seorang pria.
Cukup! Ia sudah membuang waktunya yang berharga berputar-putar di sekitar masalah genting yang dihadapinya. Eirik bilang ia menghargai kejujuran. Baiklah, Eadyth memberinya sedosis kejujuran dan menunjukkan pada pria itu apa yang menurutnya adalah "pesona."
"Memang benar, aku sama sekali tak tertarik pada tubuhmu yang indah bagaikan dewa," sindir Eadyth pedas. "Tulang-tulang tubuhku pun tak meleleh di depan kehadiranmu yang begitu jantan. Aku bahkan berani taruhan aku bisa bersamamu sejenak tanpa pingsan karena terpesona. Sejujurnya, aku mau saja menikahi anjingmu yang menyebalkan itu, kalau itu bisa memecahkan masalahku." Eadyth melihat ketegangan otot-otot di rahang Eirik yang kaku. Bagus! Sekarang ia mendapat perhatian penuh dari Eirik--tak ada lagi senyuman mengejek atau sindiran terselubung. "Tapi anjingmu sama sekali tak cocok menjadi calon suamiku, kau tahu, karena dia tak punya mata birumu... atau rambut hitammu. Bukankah sudah kusebutkan sebelumnya, itu adalah syarat penting calon suamiku."
"Mata biru! Rambut hitam!" sembur Eirik. "Hai-hati, Woman, kau sudah keterlaluan. Dan kau membuang waktuku dengan membicarakam persyaratan fisik yang bodoh. Aku tak ingin menikah, terutama dengan wanita berlidah tajam dan cerewet sepertimu. Dan ini adalah keputusan akhir." Eirik berdiri seolah-olah pertemuan mereka telah berakhir.
Harapan Eadyth layu oleh kata-kata pedas Eirik, dan tanda bahaya mengaliri tubuhnya. Sekali lagi, ia sudah membiarkan rasa tak sukanya pada pernikahan terpaksa mengaburkan akal sehatnya.
"Ini," katanya cepat, menyurukkan sebuah dokumen ke tangan Eirik. "Mungkin kau bisa mempertimbangkan sebelum kau langsung mencampakkannya begitu saja."
Eirik hanya memandang diam seperti batu, tapi akhirnya melihat dokumen itu, memegangnya dengan jarak satu lengan. Ia memindai kata-kata dan angka sekilas, lalu duduk kembali di kursinya, menghembuskan napas dengan tak sabar.
"Demi St. Cuthbert, apa-apaan ini?"
Eadyth pikir dokumen itu sudah cukup jelas karena kata-kata "Perjanjian Pertunangan" tertera jelas di atas naskahnya yang rapi. Mungkin Eirik tak bisa membaca. "Ini mas kawin yang kutawarkan padamu kalau kau setuju menikah denganku," Eadyth menjelaskan dengan bangga, dagunya terangkat tinggi.
Eirik memandang Eadyth tak percaya untuk waktu yang lama sebelum kembali menekuni isi dokumen itu, membacanya keras-keras, "Lima ratus mancus emas; dua ratus hide tanah yang menyatu dengan Ravenshire di utara; 20 ell sutra baudekin dari Baghdad; 3 sapi, 12 lembu jantan; 15 budak, termasuk seorang tukang batu dan pandai besi; dan 15 ratu lebah, bersama dengan sekitar 100 ribu lebah pekerja dan 10 ribu lebah jantan."
Eirik memandang Eadyth dengan tatapan heran, seringai mengejek berkedut di bibirnya. "Lebah? Apa yang bisa kulakukan dengan lebah?"
"Ini caraku menghasilkan kekayaan, My Lord. Jangan cepat mengejek sesuatu yang tak kau ketahui."
Eirik meletakkan dokumen itu ke meja, lalu mengetukkan jari-jarinya di depan mulut sambil bersandar di kursi dan mengamati Eadyth dengan saksama. Akhirnya ia bicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ini mengesankan, sungguh... mas kawin yang kau tawarkan. Dan mengejutkan. Aku tak mengira bahwa Hawk's Lair adalah kastil yang kaya."
Eirik tersenyum. Senyum yang manis, pikir Eadyth. Dan Eadyth melihat mata Eirik yang sangat ekspresif berbinar senang. Sungguh, Eadyth bisa mengerti kenapa wanita bertekuk lutut di kaki Eirik jika pria itu menunjukkan pesona mematikan ini ke arah mereka.
"Apa raja tahu tentang kekayaanmu? Tentunya, dewannya akan tertarik untuk menarik pajak yang lebih tinggi dari kekayaanmu."
Eadyth bergidik dengan sindirannya yang telak. "Hawk's Lair adalah lastil kecil, tapi aku menggunakan setiap bagiannya dengan efisien. Setiap kekayaan yang kuperoleh, berasal dari bisnis lebahku. Beberapa tahun terakhir ini sangat menguntungkan karena reputasiku sudah terkenal sebagai pembuat arak, madu dan lilin lebah yang berkualitas. Lilin penanda waktu adalah produksiku yang paling menguntungkan."
"Kau menjualnya sendiri?"
"Ya, benar. Aku punya agen penjual di Jorvik, tapi aku selalu memeriksa orang-orang yang mengurus bisnisku, menurutku itu tindakan yang bijak."
Eirik tergelak dan menggeleng tak percaya.
Eadyth bergidik. "Kau menganggap lucu bisnis yang baik."
"Bukan, aku menganggap kau lucu, My Lady, dan banyak kontradiksimu."
"Kenapa begitu?"
"Kau datang menerjang kastilku, tak di undang, dengan bulu tegak siap berperang seperti seekor landak. Kau menghina anjingku, ale-ku, diriku dan integritasku, tapi kau memintaku untuk menikah denganmu. Kau seorang bangsawan, tapi kau rela mengotori tanganmu dengan berdagang sendiri. Dan..." ia bimbang, tampaknya berpikir ia sudah keterlaluan.
"Dan apa? Jangan berhenti. Mari kita saling bersikap jujur."
"Well, kudengar orang sering menyebutmu sebagai 'Perhiasan Perak dari Northumbria' karena kecantikanmu, tapi aku tak melihatnya."
Eadyth meringis pada penilaian Eirik yang kasar tapi jujur. Sejujurnya ia memang berusaha menyembunyikan kecantikan apa pun yang masih dimilikinya. Seharusnya tak penting apakah Eirik menganggapnya lebih dari sekadar tak menarik, tapi entah kenapa ia peduli. Itu hanya sisa dari harga diri wanitanya, pikir Eadyth. Ia menegakkan bahunya dan bertanya, "Apa ada lagi?"
"Ya, ada," Eirik berhenti sebelum melanjutkan, "Kau bersikap seperti seorang biarawati yang tak pernah mengangkangkan kakinya untuk seorang pria, tapi aku diberitahu bahwa kau liar semasa mudamu. Aku tak bisa membayangkan wanita sepertimu menahan berat badan seorang pria apalagi mengandung anak haram."
Eadyth memejamkan matanya sejenak, mempersiapkan diri mengenai topik pembicaraan akan putranya Jhon. Ia tahu anaknya pasti akan dibicarakan kalau Eirik setuju menikahinya. Lagi pula, anak itu adalah alasan ia harus melangkah menuju ikatan yang tak disukainya ini. Tapi Eadyth berharap ia bisa membahas topik ini pada saat ia merasa siap.
"Ya, aku punya seorang putra," akhirnya Eadyth mengakui, matanya menatap langsung ke arah mata Eirik.
"Apakah Jhon akan menjadi halangan dalam pernikahan ini?"
Eirik menelusuri gobletnya dengan jarinya yang kokoh sambil mengamati Eadyth lebih saksama. Eadyth melihat jari kelingkingnya hilang, terpotong dari dasarnya sepertinya sudah lama sekali, dan ia bertanya-tanya apakah ia kehilangan jari itu dalam pertempuran atau karena kecelakaan. Spekulasinya terusik saat Eirik melanjutkan ucapannya dengan perlahan, dengan kata-kata yang sepertinya dengan hati-hati dipilih.
"Kalau aku bertemu wanita yang ingin kunikahi, seorang anak tak akan menghalangiku. Aku tak membantah bahwa aku lebih suka mempunyai istri seorang gadis perawan, tapi aku tak berhak menilai. Aku juga disebut orang sebagai anak haram, dan aku punya putri kandung di luar pernikahan." Eirik menyeringai malu.
"Sepertinya kita mempunyai ikatan nasib yang sama."
Eadyth menggemeretakkan gigi dan mengepalkan tangannya begitu erat sehingga kuku jarinya menancap ke telapak tangannya yang halus. Ia ingin memberitahu apa yang dipikirkannya tentang fakta bahwa Eirik punya dua anak di luar pernikannya. Bukan salah Eadyth jika putranya terlahir di luar pernikahan. Tapi Eirik, seorang pria tak menikah, bisa memberi legitimasi pada kedua putrinya. Oh, betapa inginnya Eadyth memberitahu pria itu bahwa satu-satunya ikatan yang sama yang mereka miliki adalah pria-pria bejat tak bermoral yang berpikir alat vital mereka adalah hadiah dari Tuhan yang harus dihujamkan ke setiap gadis, yang sama-sama menghiasi jalan hidup mereka. Eirik membuatnya jijik. Eadyth, lebih dari yang lain, tahu betapa wanita bisa menderita dari bercinta di luar pernikahan, bahkan ketika janji-janji yang diumbar begitu banyak.
Tapi ia tak bisa menyuarakan pemikirannya. Tidak sekarang. Ia harus mendapatkan persetujuan pria itu untuk menikah. Begitu mereka menikah, kalau mereka menikah, baru Eirik akan mendapatkan semua pendapatnya tentang caranya mendapatkan dua anak haramnya.
Ia memaksakan suaranya terdengar sopan saat bertanya, "Oh? Dan di mana anak-anakmu?"
"Larise tinggal tak jauh bersama Earl Orm dan keluarganya. Umurnya delapan tahun."
"Apakah dia akan tinggal bersamamu sekarang setelah kau kembali dari Northumbria?"
Eirik mengangkat bahunya tak pasti. "Aku belum tahu. Tergantung apakah aku memutuskan untuk tinggal di Ravenshire."
Tak punya hati? Pikir Eadyth. Teganya pria itu menelantarkan putrinya yang masih kecil untuk diasuh orang lain? Malangnya anak itu! Dan apa tadi yang dikatakannya tentang tak akan tinggal di Ravenshire? Mungkin kepergiannya akan menguntungkan Eadyth kalau mereka manikah. Ia tak ingin ada suami yang merepotkan yang mencampuri kebebasannya.
"Dan anakmu yang lain?"
Sekilas duka menyelimuti mata Eirik. "Emma baru berusia enam tahun. Dia tinggal di panti asuhan di Jorvik, sejak umur tiga tahun. Paman angkatku Selik dan istrinya Rain, adik tiriku, mengasuhnya di sana." Suaranya sedikit pecah oleh emosi.
Kata-katanya membingungkan Eadyth. "Tapi kenapa panti asuhan untuk anak sekecil itu, dan bahkan bukan panti asuhan sesungguhnya?"
Ekspresi Eirik menjadi muram saat ia menjawab dengan terus terang, "Aku sering meninggalkan Ravenshire dalam waktu lama dan tak ada rumah untuk tempat tinggalnya. Lagi pula, Emma tak bisa bicara, dan dia mendapat perawatan khusus dari Rain, seorang tabib yang mahir." Lalu Eirik tampak tegang dan berkata dengan tegas, "Aku tak mau membicarakan Emma."
"Dan ibu mereka? Tidak bisakah dia merewat mereka?"
"Kedua ibu anak itu sudah meninggal."
Kedua? Eirik tak hanya menelantarkan satu, tapi dua wanita. Dasar keparat bejat!
Tetap saja, Eadyth menahan lidahnya untuk melontarkan pendapatnya yang mencerca. Ia harus berhati-hati.
"Mungkin aku bisa menjadi jawaban doamu."
Eirik tersenyum lebar pada pilihan kata-katanya yang buruk, dan Eadyth terpikat, di luar kehendaknya, pada daya tarik kharismatik wajah tampan pria itu.
"Doaku? Kurasa tidak, My Lady."
"Maksudku," Eadyth bersikeras, "adalah kalau kau setuju menikah aku bisa merawat kedua anakmu."
"Dengan segala hormat, kurasa pernikahan terlalu mahal untuk sekadar merawat dua anak."
Sekadar merawat! Eadyth menyingkirkan rasa muaknya dan memandang tunik samite Eirik, yang dulunya berwarna biru safir, kini memudar akibat dimakan usia dan seringnyadipakai, dan hiasan emas di mantel luarnya sudah usang sehingga membentuk pola yang tak bermakna lagi. Sebuah bros naga emas yang indah dengan mata kuning menghiasi bahu dari mantelnya, tapi, secara keseluruhan, pakaian pria itu menunjukkan kemiskinan -- itu, ditambah lagi dengan dinding kastilnya yang mulai runtuh dan kurangnya pelayan untuk merawat kastil yang kotor itu. Lebih jauh lagi, Eadyth tadi melihat beberapa pondok petani yang kosong dan ladang-ladang yang tak lagi ditanami.
Ia memutuskan menggunakan pendekatan lain.
"Kalau boleh aku memberi saran, My Lord Ravenshire, mas kawin yang kutawarkan bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan manormu," sarannya, mengabaikan tatapan terkejut di wajah Eirik. "Aku tahu banyak tentang hal ini, kau tahu. Kalau kau tak berminat menjalankan kastilmu dan ingin kembali ke istana... atau... atau di mana pun... aku lebih dari sekadar bersedia mengatur urusanmu. Kau akan punya cukup koin untuk membeli kain baru untuk membuat pakaian yang indah dan mengisi gudang makananmu dan..." kata-katanya terputus saat ia menyadari tatapan tajam Eirik yang membuatnya ciut.
"Dan apa yang akan kulakukan saat kau... mengatur semua ini? Duduk bertopang dagu dan mengawasi kuku-kuku tumbuh?"
Eadyth hanya memandangnya, tak siap dengan respon ketus semacam itu atas tawarannya yang baik hati.
"Lady, kau melanggar batas. Apa kau begitu merendahkanku sehingga kau pikir aku tak mampu mengurus urusanku sendiri? Bagaimana aku akan menghabiskan waktuku? Minum ale? Meniduri setiap wanita yang kulihat?"
Ekspresi Eadyth pasti menampakkan apa yang dipikirkannya, memang, ia memikirkan apa yang dikatakan Eirik, karena Eirik mendengus keras sehingga menarik perhatian beberapa ksatria di aula yang ada di bawah panggung. Dengan menggemeretakkan gigi, Eirik membentak kesal, "Apakah kau akan menemukan cara meniduri dirimu sendiri di malam pernikahan? Karena sepertinya, kau tak butuh seorang pria."
Dengan sangat kecewa, Eadyth mendesah pasrah. Tampaknya pria itu tak akan menikahinya sekarang.
"Aku tak bermaksud lancang, My Lord. Kau salah dengan mengatakan bahwa aku tak butuh pria. Aku sangat butuh seorang suami. Oh, memang benar aku tak butuh pria di ranjangku. Sejujurnya, kalau kita menikah, kau boleh tetap berhubungan dengan semua kekasih simpananmu, aku tak peduli."
"Berapa tepatnya kau pikir kekasih simpanan yang kupunya?" tanya Eirik dengan takjub, tak lagi marah.
Eadyth mengibaskan tangannya di udara seolah-olah jumlahnya tak penting. "Kau punya reputasi meniduri banyak wanita, dan..."
"Meniduri banyak wanita?" Eirik tercekat. "Bersama-sama?"
"Jangan konyol," kata Eadyth, tapi kemudian wajahnya memerah membayangkan. Tanpa berpikir, ia berkomentar, "Aku tak menyadari bahwa itu bisa dilakukan, lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan."
Tawa Eirik pecah.
Eadyth mengkerut dicemooh seperti itu dan berusaha melanjutkan. "Aku tahu kau punya kekasih simpanan di Jorvik, dan, kalau ada lagi yang lain, itu tak masalah bagiku."
Eirik menaikkan satu alisnya terkejut. "Kau kenal Asa? Mata-matamu bekerja dengan baik, My Lady."
Eadyth mengangkat dagunya. "Itu tak penting. Aku tahu sekarang kau tak akan menikahiku. Tampaknya aku harus segera mulai mencari pria bangsawan yang lain dengan rambut hitam dan mata biru."
"Sungguh, kau membuatku tertarik, My Lady. Tolong jelaskan. Kenapa syarat itu yang dibutuhkan?"
Eadyth mulai ragu sebelum membicarakan putranya, Jhon dengan Eirik, tapi, karena peluangnya untuk menikah dengan Eirik kini sudah pupus, ia pikir Eirik mungkin bisa memberinya saran calon lain.
"Ayah putraku berubah pikiran setelah bertahun-tahun ini tidak mengakui Jhon sebagai anak. Ia mengajukan petisi pada Witan untuk memperoleh hak asuh atas Jhon untuk tujuan jahatnya sendiri. Aku perlu suami untuk melindungiku dalam pertarunganku. Dan"-- Eadyth kembali ragu, mempertanyakan sebanyak apa informasi yang bisa dipercayakannya pada Eirik--"dan kalau pria itu bersumpah dia adalah ayah Jhon itu akan membantuku, terutama jika dia memiliki rambut hitam dan mata biru pucat, seperti anakku. Seperti ayah kandungnya."
Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Ketika tawanya akhirnya berhenti, ia menggeleng, takjub pada pemikiran Eadyth yang licik. "Sepertinya kau sudah memikirkan semuanya. Tapi apa yang membuatmu berpikir dewan raja akan mengabulkan permintaan yang begitu terlambat untuk hak asuh dari ayah kandung?"
Eadyth mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk menjelaskan. "King Edmund mendukungku di Witan melawan... melawan laki-laki mengerikan itu selama bertahun-tahun ini, terutama karena menghormati ayahku yang melayaninya dengan setia, seperti yang dilakukan ayahku pada kakaknya King Athelstan sebelumnya. Luka yang di derita ayahku di pertempuran Leicester, saat mengabdi pada Edmund, membawa kepada kematiannya. Posisiku melemah setelah kematian ayahku."
"Edmund lelaki yang baik. Dia tak akan mengingkari janjinya untuk melindungi."
Eadyth mengangkat satu tangannya untuk mengindikasikan ada hal lain lagi. "Seperti yang kau tahu banyak usaha yang dilancarkan untuk membunuh raja, dan Steven, iblis keparat itu, menjilat Edred, yang akan menjadi ahli waris karena anak-anak Edmund yang masih begitu muda. Tak ada keraguan bahwa Steven akan sukses kalau Edred naik takhta."
Eadyth mendesah dan bersandar di kursi. Memejamkan matanya dengan lelah. Ia lelah setengah mati dengan semua gejolak ini, dan sekarang ia harus mulai mencari dari awal lagi. Setelah beberapa saat, Eadyth mulai menyadari keheningan Eirik yang janggal. Ketika Eadyth membuka matanya, ekspresi wajah Eirik menggelap karena amarah membuat Eadyth terpana, semua emosi itu tampaknya tertuju padanya.
"App-aa?" Eadyth terkesiap saat Eirik berdiri seketika tanpa peringatan, dan menyambar lengannya, mengangkatnya dari kursi dan dari atas lantai sehingga ia berhadapan dengannya, hidung dengan hidung, dengan kedua lengannya terpaku di kedua sisi tubuhnya.
"Ayah dari anakmu... apa mungkin maksudmu si nithing, Steven of Gravely?" tanyanya dengan suara dingin.
Eadyth mengangguk, menyadari ia pasti tidak sengaja menyebutkan nama Steven. Dan ia setuju bahwa Steven pantas mendapatkan penghinaan paling rendah, nithing - makhluk yang paling rendah dari semua manusia.
"Kau mengangkangkan kakimu untuk ular licik itu dan berani mempermasalahkan karakterku?"
Eirik mengguncangnya begitu keras hingga giginya gemeretak. Eadyth tahu ia akan memar-memar besok. Eadyth menatap mata es Eirik. sikap Eirik yang meledak-ledak menakutkannya, tapi ia tak mau membela dirinya di depan pria menyebalkan ini. Sejujurnya, hanya seorang wanita yang bisa mengerti apa yang dilakukannya dengan Steven dan kenapa penghianatan pria itu melukainya begitu dalam.
Akhirnya, Eirik melepaskan Eadyth. Sambil mengibaskan satu jarinya di depan wajah Eadyth, Eirik memerintah dengan suara yang tidak bisa di bantah, "Kau akan tinggal di kastil ini malam ini. Kita akan bicara lebih lanjut pagi besok saat aku punya waktu memikirkan semua yang kau katakan padaku. Astaga!Steven of Gravely! Aku bahkan tak bisa mensyukuri kebetulan ini."
"Aku mengerti." Benak Eadyth dipenuhi kebingungan.
"Kau tak perlu mengerti, Woman," katanya dengan masam, "tapi ketahuilah, sebaiknya kau memang sudah menyiapkan perjanjian pernikahan. Dan semoga Tuhan dan semua orang suci mengampunimu. Karena aku tidak."
Lanjut
Sinopsis
"Kupikir aku sudah memerintahkan para penjaga di gerbang untuk mencegahnya masuk kalau dia datang tiba-tiba."
"Sepertinya wanita itu akhirnya berhasil menemukanmu," kata Wilfrid sambil tergelak.
"Tampaknya, kegigihannya patut diacungi jempol."
"Hah! Aku sudah melihat cukup banyak ibu-ibu dan para wanita yang terlalu bersemangat selama dua tahun ini aku pergi dari Ravenshire. Yang kuinginkan hanyalah sedikit kedamaian untuk..."
Percakapan mereka terputus seketika saat terdengar suara dengkingan keras seekor anjing. Mata Eirik membelalak terkejut ketika melihat Eadyth mendorong hewan itu dengan ujung sepatu kulitnya ketika anjing itu melebarkan kaki belakang dan berjongkok di lantai dekat kaki Eadyth. Bahkan melalui cahaya Temaram berkabut di aula besar itu, Eirik bisa melihat bibir Eadyth melengkukung tak senang saat ia melihat "kado" menjijikkan yang ditinggalkan anjing pemburu yang besar itu. Dengan berkacak pinggang, wanita kurang ajar itu menatap galak anjing yang merintih itu sampai hewan itu dengan patuh menghilang dari pandangannya.
Eirik dan Wilfrid tak mampu menahan tawa, begitu pula dengan para kesatria kasar yang bersantai bersama mereka di aula itu. Tak Ada wanita yang tinggal di sana, kecuali para pelayan. Syukurlah! Ia berharap keadaan tidak berubah.
"Dasar wanita kurang ajar!" gumam Eirik akhirnya, menyeka air mata dari matanya dengan lengan tuniknya yang usang. "Pertama dia menerobos masuk tanpa diundang ke dalam rumahku. Lalu dia menendang anjingku. Apakah aku harus mendorong bokong kurusnya dengan separu botku dan mengirimnya keluar?"
"Oh, biarkan dia bicara. Mungkin 'hal genting' yang ingin didiskusikannya ini akan memberikan hiburan untuk mengurangi kebosanan kita."
Eirik mengangkat bahu. "Barangkali. Setidaknya, aku memang selalu ingin melihat dari dekat si Perhiasan Perak dari Northumbria."
"Bukan, Eirik. Apa kau belum dengar? Perhiasan itu sudah lama hilang kemilaunya. Apa kau tak tahu para penggosip di istana sekarang menjulukinya 'Perhiasan yang Tercemar'?" Wilfrid buru-buru membisikkan penjelasan.
Alis mata Eirik terangkat dengan minat dan keraguan. Ia sangat tahu dari pengalaman getirnya sendiri betapa sadisnya para bangsawan di istana King Edmund, tapi ia masih ragu apakah kata-kata Wilfrid itu benar.
Sementara itu, wanita itu masih berjalan dengan mantap ke arah panggung tempat mereka duduk. Seorang pelayan, wanita gemuk dan beberapa staf pelayan mengikuti di belakangnya seperti anak itik yang mengekori seekor angsa yang kurus kering.
Pada saat itu, wanita itu berhenti dan mengangkat hidungnya dengan gaya congkak, seolah mengendus udara disekitarnya. Lalu ia mengarahkan tatapan tajam pada Ignold, salah satu pelayam kepercayaan Eirik, dan melontarkan beberapa ucapan pedas ke arahnya. Prajurit berubuh besar yang terkenal garang di medan tempur dan tak kenal gentar itu, hanya memandang wanita itu dengan mulut ternganga.
Eirik bisa menerka apa yang dikatakannya.
Setelah memenangi ibukota Norse di Jorvik awal tahun itu, lalu menaklukkan seluruh Strathclyde, King Edmund mengirim Eirik sebagai utusannya di bawah standar Golden Dragon kepada Duke of Normandy untuk menegosisasikan pembebasan keponakan Edmund, Louis d'Outremer. Louis ditangkap oleh Northmen of Rouen musimpanas sebelumnya kemudian diselamatkan oleh Duke of the Franks, yang lalu menyekapnya sebagai sandera selama beberapa bulan belakangan ini. Akhirnya, setelah berbulan-bulan melalui tawar menawar yang alot dan banyak rintangan, Louis bisa kembali ke kerajaannya di Frank.
Banyak dari pasukan Eirik sudah berpencar di malam itu setelah perjalanan panjang kembali dari Frankland. Mereka mengikuti grup pelayan yang lebih kecil yang telah menemaninya kembali dua minggu lalu. Setelah berminggu-minggu berada di kapal, lalu berkuda tanpa mandi, tubuh mereka menjadi benar-benar bau. Bahkan Eirik sendiri mengendus bau tajam menyengat tubuh yang telah lama tak di basuh itu saat ia tadi melintas menuju kamar tidurnya. Ia Yakin, wanita kurang ajar dari Hawks' Lair itu pasti menyuarakan hal yang sama.
Wanita itu terus berjalan ke arahnya, mengabaikan komentar-komentar tak senonoh yang dilontarkan anak-anak buah Eirik yang duduk berkerumun sambil minum-minum atau bermain dadu. Tampaknya mereka semua sudah terlalu lama hidup di luar masyarakat yang santun.
Sengatan rasa bersalah menusuk hati nurani Eirik. Mungkin ia sudah bersikap kasar mengabaikan surat-surat wanita itu yang meminta bantuan dalam "masalah penting" yang tak dijelaskannya. Tapi ia benar-benar kelelahan setengah mati dari dua tahun bertempur dan ditambah lagi membawa pesan-pesan dari rajanya, belum lagi terus menerus mengelak dari serangan panas intrik politik. Ia sama sekali tak mau berurusan dengan kehidupan rumit para bangsawan - pria atau wanita. Hanya sedikit ketenangan, itu saja yang dimintanya.
Eirik bersandar di kursinya, dengan santai bersedekap dan menyilangkan kaki panjangnya. Ia menyipitkan matanya dan mempelajari Eadyth lebih dekat, nyaris tak bisa melihat tubuhnya atau wajahnya di balik pakaian longgar dan cadar yang dikenakannya. Mata Eirik berair karena asap dan ia lebih menyipitkannya lagi.
Wanita itu tampaknya memiliki rambut berwarna abu-abu yang diikat dengan erat ke belakang di bawah tudung kepalanya yang berwarna tanah. Tak ada untaian yang keluar untuk melunakkan wajahnya yang keras.
Sambil tercenung, Eirik membelai kumisnya dengan jari telunjuknya, kebiasaannya jika sedang bingung atau berkonsentrasi. "Tak kusangka dia sudah berumur."
"Aku juga begitu."
Mereka berdua kembali mengamati wanita yang mereka bicarakan. Wanita itu tinggi dan langsing, kalau bisa diukur dari pergelangan kakinya yang ramping yang tampak saat ia mengangkat pinggiran gaunnya untuk menghindari kotoran. Payudaranya tampak rata, serata perisai tempur Eirik. Tapi ekspresi masam di wajahnya yang paling mengganggu. Ya Tuhan! Ia datang meminta bantuan, tapi tak bisa mengendalikan raut masamnya.
Eirik tersenyum. Ia akan menikmati memainkan permainan kucing dan tikus dengan wanita congkak ini.
Sambil berdeham, wanita itu memanggil dengan lancangnya dari bawah anak tangga panggung tempat mereka duduk, "Dengan izinmu, My Lord Ravenshire, aku meminta waktu untuk berbicara denganmu mengenai masalah yang penting."
Masalah penting! Masalah penting! Semua bilang begitu saat minta tolong. Eirik mengangguk dengan enggan, dan melambaikan tangan kanannya ke arah salah seorang pelayannya, mengisyaratkan untuk menjamu para pengiring Eadyth dengan makanan dan minuman.
"Tampaknya anda tidak menerima surat yang saya kirimkan," ujar wanita itu dalam suara yang kaku, bibirnya melengkung tegang. Dua kerutan tipis di antara alisnya memperlihatkan pandangan tajam yang permanen. Eirik nyaris meledak tertawa saat ia menyadari bahwa wanita itu dengan susah payah berusaha bersikap merendah di depannya, padahal wanita itu sebenarnya sangat ingin mencetuskan kata-pedas untuk menghujatnya.
"Aku menerima suratmu."
Saat Eirik tak mau menjelaskan lebih lanjut, mulut Eadyth ternganga, mengejutkannya memperlihatkan barisan gigi putih yang sehat untuk seseorang yang begitu tua. Eirik membelai kumisnya dengan saksama dan menyipitkan matanya agar bisa lebih cermat memandang Eadyth. Selain kerutan di sekitar mata dan mulutnya, wanita itu sepertinya tak setua yang dipikirkannya. Malahan, kulit wajahnya tampak begitu halus karena krim baru di tempat-tempat dimana lipatan itu berada tak mengerut dengan buruk. Eirik berharap bisa mengamati lebih baik, sayangnya penglihatannya yang buruk membuatnya melihat lebih samar dalam jarak dekat.
"Ah! Pria yang jujur. Betapa menyenangkannya!"
"Apa kau berharap sebaliknya? Ini adalah sifat yang menurutku lebih penting dari yang lain... kejujuran, maksudku," sembur Eirik, anehnya merasa tersinggung dengan sikap Eadyth yang puas dengan pengakuannya bahwa ia sudah menerima suratnya dan dengan kasar tak membalas.
Jawaban Eirik tampak sangat memuaskan Eadyth. "Ya, seringnya aku memperkirakan orang tak akan jujur. Tak banyak pria yang benar-benar bisa dipercaya menurut pengalamanku."
"Atau wanita?"
"Atau wanita," ujarnya sambil mengangguk singkat, menghargai Eirik dengan berani.
Sekilas senyuman terbentuk di sudut-sudut bibir Eadyth yang indah dengan lekuka dalam di tengahnya dan tahi lalat kecil hitam tepat di atas sudut kanan bibirnya. Sejujurnya, wanita itu tak sejelek kuda seperti dugaan Eirik awalnya. Oh, hidung mancungnya terlalu kuat dan angkuh untuk seleranya, belum lagi dagunya yang mencuat dengan congkak, tapi kalau bukan karena rambut abu-abu dan tubuh sekurus sapu, wanita itu bisa dikatakan lumayan cantik. Mengamati lebih dekat, Eirik bisa melihat sekarang bahwa wanita itu dulunya cantik di masa mudanya -- Perhiasan Perak dari Northumbia.
Tangan Eirik terulur Tanpa sadar membelai kumisnya. Sesuatu dalam penampilan wanita itu memberinya perasaan aneh. Namun ia teringat kata-kata Wilfrid tentang skandal yang melingkupi wanita itu. Itu adalah teka-teki yang belum bisa dipecahkan Eirik. Ia tersenyum sendiri merenungkan prospek memecahkan misteri itu.
"Boleh aku bergabung denganmu?"
"Tentu saja," jawab Eirik, karena merasa malu hati sendiri, seperti seorang anak kecil, karena kata-kata halus yang diucapkan Eadyth menyindir sikapnya yang tak santun pada tamu. Ia brediri dan membantu Eadyth menaiki panggung tinggi itu, menyadari kurusnya lengan wanita itu dibalik bahan tebal pakaiannya. Oh Tuhan, di mana wanita ini menemukan warna kain russer yang sejelek itu? Eadyth cukup jangkung dibanding wanita kebanyakan tapi masih belum sampai setinggi bahu Eirik, pikir Eirik saat ia mengenalkannya pada Wilfrid.
Sebelum duduk, Eadyth memeriksa kursinya, sepertinya mencari debu. Persetan! Ia baru pulang beberapa pekan dan punya banyak urusan yang lebih penting dari pada menangani para pelayan yang tak becus. Eirik tak kesal saat Wilfrid mengomelinya untuk memberi dana demi memperbaiki keadaan Ravenshire, tapi berbeda halnya dengan tamu tak diundang ini yang memandang rendah dirinya dan rumahnya.
Sambil mengulurkan tangan mengambil gelas kosongnya, Eirik memandang wanita itu dengan tajam lalu menyeka pinggir goblet itu dengan lengan baju jubahnya hanya untuk membuat kesal wanita yang rewel itu. Lalu Eirik menuangkan minuman untuk tamunya itu dan menawarkan dengan ramah, berharap memperbaiki kekurangsopanannya tadi. Eirik melihat betapa wanita itu berhati-hati agar jari mereka tak bersentuhan. Dan, saat Eadyth menyesap ale-nya, Eirik mau tak mau melihat hidung wanita itu sejenak mengernyit menandakan ketidaksukaannya.
"Kau tak suka anjing dan ale, rupanya," komentar Eirik menyelidik.
"Tidak, itu tak benar. Aku cukup suka anjing, pada tempat mereka yang benar, di luar aula dan dapur. Dan tentang ale-mu, ini lumayan." Dagu wanita itu terangkat sedikit congkak. "Meskipun demikian, aku adalah orang yang pemilih. Aku membuat minuman yang terbaik di seluruh Northumbria dari madu hasil ternakku sendiri."
"Sungguh? Luar biasa. Bukan karena kau membuat minumanmu sendiri, tapi bahwa kau menyanjung dirimu sendiri."
Mata Eadyth menyorot galak dan mereka saling berpandangan, pipi Eadyth bersemburat merah.
Bagus! Pikir Eirik.
"Aku harus mengakui koreksimu atas tingkah lakuku yang tak pantas, My Lord. Memang benar aku tak sopan. Aku sudah kehilangan tata cara bertingkah laku, selama bertahun-tahun ini aku hidup di luar masyarakat," Eadyth Edyth meminta maaf tanpa sedikitpun merasa malu. "Sering aku lupa bahwa para lady seharusnya bersikap malu-malu dan lemah. Ayahku mendidikku untuk mandiri."
Bahkan jika Eirik tak memperhatikan dagu Eadyth yang congkak, yang cenderung terangkat, Eirik memiliki firasat bahwa wanita itu jarang merendahkan dirinya. Nada kerapuhan yang sangat samar di ujung suara Eadyth, membuat Eirik melunak.
"Dia pria yang baik... Ayahmu. Aku bertemu Arnulf beberapa tahun lalu saat dia datang mengunjungi kakekku, Dar. Aku ikut berduka mendengar kematiannya."
Eadyth mengangguk menanggapi ungkapan belasungkawa dari Eirik.
"Seingatku, kau tak punya saudara laki-laki, lanjutnya. "Siapa yang mengurus Hawks' Lair?"
"Aku."
Terkejut, Eirik tersedak ale yang sedang diminumnya dan Wilfrid menepuk punggungnya menenangkan.
Bibir Eadyth terangkat membentuk senyuman mengejek, dan sekali lagi perhatian Eirik tertuju pada tahi lalat kecil di dekat mulutnya. Ia pernah mendengar ada wanita yang sengaja membubuhkan tahi lalat di wajah mereka. Mungkinkah tahi lalat itu juga palsu? Tak mungkin! Seorang wanita yang menata rambutnya ke belakang seperti seorang biarawati dan mengenakan pakaian yang begitu membosankan akan meremehkan hiasan semu semacam itu.
"Kenapa reaksi pria selalu begitu? Sungguh, aku tak mengerti kenapa pria bersikeras memercayai bahwa wanita tak mampu melakukan apapun kecuali bergosip dan menjahit."
Eirik mencondongkan duduknya ke depan dan memandang Eadyth dengan rasa ketertarikan baru. "Menurut pengalamanku kebanyakan wanita itu makhluk bodoh, yang licik dan cukup puas melakukan hal yang tak lebih dari itu. Itu fakta yang kulihat dari istriku sebelum dia tewas. Kalau bukan karena butuh keturunan, kurasa kebanyakan pria akan menghindari ranjang pernikahan dan memilih mendapatkan permainan ranjang mereka di tempat lain."
Keterusterangan kata-kata Eirik tampaknya tak sedikit pun menggelitik kepekaan feminin Eadyth. Bahkan, wanita itu tampak menghargai kejujurannya.
Jemari Eadyth menelusuri pola tak terlihat di permukaan meja sambil mengamati Eirik lebih dekat. Kenapa? Eirik bertanya-tanya. Eadyth menjilat bibirnya dengan gugup, yang membuat Eirik kembali mengarahkan pandangannya ke arah tahi lalat yang terpampang nyata itu. Eirik memandangnya, terpesona, saat ujung merah jambu lidah Eadyth secara tak sadar menelusuri jalur dari satu sudut mulut, ke cekungan, ke sudut yang lain, lalu menyapu bibir bawahnya yang penuh. Bagaimana rasanya jika ia melakukan dengan lidahnya sendiri? Eirik berfantasi, merasakan seketika sesuatu membengkak di pangkal pahanya.
Demi semua orang suci! Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia bertingkah seperti bocah ingusan. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama tanpa sentuhan wanita kalau seorang wanita yang sudah tak muda pagi bisa membuatnya bereaksi.
Dan si wanita kurang ajar itu mengamatinya dengan cara penelusuran yang aneh. Sungguh, Eadyth wanita yang paling tak biasa.
"Apakah matamu biru... biru pucat seperti langit musim panas... seperti yang kudengar?" tanya Eadyth tiba-tiba, membuyarkan pikiran penuh berahinya.
Bingung dengan pertanyaan aneh Eadyth, Eirik sedikit menarik diri. "Ya, begitulah... warisan dari nenek moyang Vikingku."
Ya ampun! Kenapa wanita tua itu peduli apakah matanya berwarna biru langit atau coklat tanah?
"Kau tak terlihat seperti seorang dari Norse. Rambutmu hitam, kan?" tanyanya dengan santai, tapi Eirik bisa menebak dengan melihat buku jari-jarinya yang memutih, yang bahkan tampak di keremangan aula itu, bahwa jawaban Eirik penting baginya.
Apa sebenarnya tujuan wanita ini, menanyakan pertanyaan bodoh tentang warna rambut dan matanya? Eirik bersandar di kursinya dan memandangi Eadyth dengan curiga dari matanya yang menyipit. "Aku hanya separuh Viking. Ibuku orang Saxon." Ia menggigit bibir bawahnya karena kesal tak bisa menebak tujuan wanita itu, lalu melanjutkan dengan nakal, "Apa kau mau melihat bagian tubuhku yang separuh Viking?"
Wilfrid terkekeh di seberangnya, tapi Eadyth hanya tersipu dan pura-pura tak mendengar kata-katanya.
"Maksudku keperkasaanku di medan tempur," tambahnya mengejek, mengangkat dan memamerkan sebelah lengannya yang berotot, "dan kelihaianku bermanuver tanpa cela di antara kekacauan politik Saxon." Eirik menepuk kepalanya seolah-olah menunjukkan bahwa kepalanya itu bukannya tak berisi.
Eadyth, yang tampaknya tak punya selera humor, tak tersenyum menanggapi gurauannya. Alih-alih, ia dengan serius merapatkan bibirnya membentuk garis lurus sambl mengamati Eirik dengan berani. Akhirnya, ia bertanya, "Bolehkah kita bicara secara pribadi, My Lord?"
Eirik mempertahankan ekspresi datarnya, menyembunyikan kekagetannya, sebelum mengisyaratkan pada Wilfrid untuk meninggalkan mereka sejenak.
Seolah-olah memikirkan masalah yang serius, Eadyth mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan penuh pertimbangan di permukaan meja sebelum tampak membuat keputusan. Ia menunggu sampai Wilfrid turun dari panggung, lalu memandang langsung mata Eirik.
***
Kalau menyangkut lamaran untuk menikah, lamarannya buruk sekali...
"Aku perlu menikah secepatnya," sembur Eadyth tanpa tedeng aling-aling. "Apakah kau tertarik menjadi pasanganku?"
Eadyth memandang ksatria kekar itu yang berusaha tidak menganga karena terkejut. Setelah ia bisa mengatasi kekagetannya akibat lamaran tak terduga Eadyth, wajahnya berubah menjadi topeng tanpa ekspresi saat memahami tingkah aneh Eadyth.
Hah! Lelaki begitu transparan mereka pikir wanita tak mampu berpikir logis, dan disitulah kelemahan mereka, Eadyth telah mendapat pelajaran demi pelajaran selama delapan tahun ini tentang kekuasaan pria atas wanita. Tapi itu bukan kekuasaan yang mutlak, dan ia menjadi ahli untuk mengungguli mereka. Bukankah ia sudah membuktikan berkali-kali dengan kemampuannya mengatur Hawks' Lair dan menjual produknya sendiri di pasar Jorvik -- madu, arak madu, dan lilin lebah terbaik di seluruh Northumbria?
Sangat berat bagi Eadyth untuk datang merendahkan diri di depan Lord of Ravenshire yang tampan dan pandai bersilat lidah ini. Seolah-olah Eirik peduli apakah sosoknya yang terpahat indah itu bisa meluluhkan hati para gadis dari Yorshire sampai Strathclyde! Atau bahwa kata-kata manisnya bisa menyebabkan biarawati yang suci kehilangan kendali dirinya. Eadyth tak menginginkan pria mana pun menjadi suaminya, dan yang jelas bukan pria kasar dengan pakaian buruk di kastilnya yang nyaris runtuh, yang memandangnya rendah dengan arogan, nyaris tak mampu menutupi penghinaannya.
Demi St. Bridget! Gagasan memasuki ikatan perkawinan membuat Eadyth mengernyit benci. Ikatan! Itu satu-satunya kata yang penting di sini. Selama bertahun-tahun ini, ia menolak menjadi milik pria mana pun.
Tapi kini ia tak punya pilihan. Ia sudah kehabisan waktu. Yang bisa dilakukannya adalah mendapatkan transaksi perjanjian pertunangan terbaik, perjanjian yang bisa menguntungkan calon suaminya tapi tetap memberinya kebebasan. Akankah Lord of Ravenshire ini setuju?
"Mungkin aku salah dengar, My Lady. Apakah kau baru saja melamarku?" saat Eadyth mengangguk dan dengan menantang mengangkat dagunya, Eirik mendengus sebal. "Seharusnya dalam soal ini kau tak bertindak sendiri."
"Siapa yang akan melakukan negosiasi untukku? Ayahku sudah tewas. Aku tak punya keluarga." Ia mengangkat bahu. "Apa kau begitu kaku dan takut kejantananmu berkurang sehingga kau tak mau berurusan langsung dengan seorang wanita?"
Eirik menegakkan duduknya, otot berkedut di rahang kotaknya menghadapi tantangan Eadyth. "Hati-hati bicara, wanita bodoh. Dengarkan baik-baik, aku tak takut padamu, tidak pada pria mana pun atau wanita mana pun. Kau ingin langsung berurusan denganku. Baiklah, kau mendapatkannya. Kukatakan langsung... jawabanku adalah 'Tidak.' Aku tak tertarik tuk menikah denganmu."
Eadyth merasa malu, semburat merah bergerak ke atas lehernya dan mewarnai pipinya. Kenapa ia tidak bisa menahan lidahnya? Terbiasa berurusan dengan para pedagang yang licik dan orang-orang kasar, ia terkadang lupa bersikap diplomatis. Dengan hati-hati, ia menahan ledakan kemarahannya dan memaksakan dirinya bertindak hati-hati sebelum bicara lagi.
"Maafkan aku, My Lord, karena kata-kataku yang serampangan. Kegentingan situasiku membuatku tak mampu mengendalikan lidah, tapi, tolong... tolong jangan menolak lamaranku sebelum kau mendengar detailnya."
Eirik menuang lebih banyak ale ke dalam goblet kayunya dan menyesapnya perlahan, mengamati Eadyth dari matanya yang menyipit, dan tampaknya mendapati bahwa Eadyth tidak memiliki figur yang dicarinya dari seorang istri. Itu tidak mengejutkan Eadyth. Bahkan, ia berusaha sebaik-baiknya untuk tak menarik perhatian pria sejak ia membuat kesalahan yang mengerikan delapan tahun lalu.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, My Lady, aku tak tertarik menikah lagi... dengan wanita mana pun. Sekali sudah cukup."
"Selamanya?" tanya Eadyth, terkejut. "Kupikir semua pria butuh mendapatkan keturunan sebagai ahli waris. Istrimu tak memberikanmu putra, kan?"
Eirik menggeleng. "Adikku Tykir adalah ahli warisku, dan aku tak ingin menggandakan diriku sendiri." Eirik menelengkan kepalanya bertanya-tanya, seolah-olah ia baru memikirkan sesuatu yang penting. "Lagi pula, kurasa kau sudah tak dalam usia bisa mengandung."
"Hah!" komentar Eirik menyadarkan Eadyth. Memang benar banyak gadis yang menikah pada usia empat belas tahun, tapi ia baru berusia dua puluh lima tahun dan jelas masih dalam usia produktif. Bukannya ia mau hamil. Dan yang jelas bukan dengan pria sebarbar Eirik. Tapi memangnya Eirik pikir berapa umurnya?
Aaah! Kemudian Eadyth sadar seketika, sambil menyentuh topinya, rambut peraknya yang membuat Eirik salah menerka umurnya -- itu dan pakaian longgar yang sengaja dikenakannya yang menyembunyikan dengan baik lekuk tubuh femininnya. Untung saja Eirik tak melihatnya pagi ini saat ia berusaha menata rambut berombaknya yang liar sepanjang pinggang di bawah topinya, akhirnya terpaksa menggunakan lemak babi untuk merapikan dan mengikat rambut lebatnya yang berombak itu. Tampaknya, lemak itu juga berhasil menyembunyikan rambut pirang emasnya di balik warna peraknya.
Tapi kemudian gagasan lain terlintas di kepalanya. Mungkin tebakan salah Eirik akan usianya bisa menguntungkannya. Setelah pengalamannya yang tak mengenakkan--tepatnya, mengerikan--dengan gairah pria, ia tak berminat mengalaminya lagi. Mendalami peran barunya sebagai wanita tua, Eadyth nyaris tersenyum saat ia membungkukkan sedikit bahunya dan memaksakan suaranya sedikit bergetar, mengelak Dari pertanyaan Eirik. "Heh! Heh! Heh! Tampaknya usiaku tak penting kalau kau ingin punya keturunan. Justru, bisa menguntungkan Kita berdua."
Minat Eirik tergerak, ia mengusap rambut hitam arangnya yang terurai sampai ke bahunya. Lalu membelai sekilas kumisnya, tindak tanduk yang beberapa kali dilihat Eadyth saat pria itu mengawasinya seperti burung yang waspada--ya, seperti burung gagak. Dan mata Eirik sering menyipit. Akhirnya, alisnya terangkat bertanya-tanya di atas mata biru yang bening itu.
Ya Tuhan! Seorang wanita bisa terhanyut ke dalam sorot mata yang memesona itu, Eadyth mengakui, lalu dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri karena memikirkan hal tersebut. Sebenarnya, Eirik tak setampan Steven, biang kerok masalahnya. Penampilan Steven terpoles rapi dan sosoknya nyaris sempurna, sementara keindahan Eirik tampak mentah dan terlalu jantan, Eirik terlalu maskulin untuk selera Eadyth. Dalam cara yang aneh, lelaki itu membuatnya takut.
Memaksakan diri untuk kembali menghadapi kenyataan, Eadyth melanjutkan, "Biarlan aku berterus terang..."
"Kenapa berhenti?"
Eadyth melayangkan tatapan galak. Ia akan mengabaikan kekurangajarannya untuk sekarang. Tap ia tak bisa menahan Buku jarinya mengepal dan membuka dengan tegang saat ia bicara. Demi Tuhan, betapa sulitnya menelan gengsinya karena merendahkan diri.
"Aku perlu menikah secepatnya. Suamiku harus bisa memimpin pasukan di medan tempur, tapi yang lebih penting lagi adalah lihai dalam politik... berbakat dalam politik, menghindari konfrontasi, jika mungkin. Apa kau mengerti maksudku?"
"Kenapa aku?" tanya Eirik singkat. "Sudah jelas kau tak tertarik pada pesonaku yang tak terhingga."
Eirik mengawasi dengan penuh minat, reaksi dari tangan Eadyth yang gugup. Eadyth berusaha mengendalikan dirinya. Eirik melihat terlalu banyak. Namun pada saat yang bersamaan, Eirik juga tak melihat penampilan Eadyth yang sesungguhnya. Aneh selalu!
Dan komentar usil Eirik tantang "pesona" membuatnya gusar. Apa Eirik mempermainkannya, menganggap lamarannya yang setengah hati sebagai alasan menjadikannya lelucon? Tentu saja begitu.
Dalam benaknya, Eadyth sudah melewati usia untuk tertarik pada sokongan seorang pria.
Cukup! Ia sudah membuang waktunya yang berharga berputar-putar di sekitar masalah genting yang dihadapinya. Eirik bilang ia menghargai kejujuran. Baiklah, Eadyth memberinya sedosis kejujuran dan menunjukkan pada pria itu apa yang menurutnya adalah "pesona."
"Memang benar, aku sama sekali tak tertarik pada tubuhmu yang indah bagaikan dewa," sindir Eadyth pedas. "Tulang-tulang tubuhku pun tak meleleh di depan kehadiranmu yang begitu jantan. Aku bahkan berani taruhan aku bisa bersamamu sejenak tanpa pingsan karena terpesona. Sejujurnya, aku mau saja menikahi anjingmu yang menyebalkan itu, kalau itu bisa memecahkan masalahku." Eadyth melihat ketegangan otot-otot di rahang Eirik yang kaku. Bagus! Sekarang ia mendapat perhatian penuh dari Eirik--tak ada lagi senyuman mengejek atau sindiran terselubung. "Tapi anjingmu sama sekali tak cocok menjadi calon suamiku, kau tahu, karena dia tak punya mata birumu... atau rambut hitammu. Bukankah sudah kusebutkan sebelumnya, itu adalah syarat penting calon suamiku."
"Mata biru! Rambut hitam!" sembur Eirik. "Hai-hati, Woman, kau sudah keterlaluan. Dan kau membuang waktuku dengan membicarakam persyaratan fisik yang bodoh. Aku tak ingin menikah, terutama dengan wanita berlidah tajam dan cerewet sepertimu. Dan ini adalah keputusan akhir." Eirik berdiri seolah-olah pertemuan mereka telah berakhir.
Harapan Eadyth layu oleh kata-kata pedas Eirik, dan tanda bahaya mengaliri tubuhnya. Sekali lagi, ia sudah membiarkan rasa tak sukanya pada pernikahan terpaksa mengaburkan akal sehatnya.
"Ini," katanya cepat, menyurukkan sebuah dokumen ke tangan Eirik. "Mungkin kau bisa mempertimbangkan sebelum kau langsung mencampakkannya begitu saja."
Eirik hanya memandang diam seperti batu, tapi akhirnya melihat dokumen itu, memegangnya dengan jarak satu lengan. Ia memindai kata-kata dan angka sekilas, lalu duduk kembali di kursinya, menghembuskan napas dengan tak sabar.
"Demi St. Cuthbert, apa-apaan ini?"
Eadyth pikir dokumen itu sudah cukup jelas karena kata-kata "Perjanjian Pertunangan" tertera jelas di atas naskahnya yang rapi. Mungkin Eirik tak bisa membaca. "Ini mas kawin yang kutawarkan padamu kalau kau setuju menikah denganku," Eadyth menjelaskan dengan bangga, dagunya terangkat tinggi.
Eirik memandang Eadyth tak percaya untuk waktu yang lama sebelum kembali menekuni isi dokumen itu, membacanya keras-keras, "Lima ratus mancus emas; dua ratus hide tanah yang menyatu dengan Ravenshire di utara; 20 ell sutra baudekin dari Baghdad; 3 sapi, 12 lembu jantan; 15 budak, termasuk seorang tukang batu dan pandai besi; dan 15 ratu lebah, bersama dengan sekitar 100 ribu lebah pekerja dan 10 ribu lebah jantan."
Eirik memandang Eadyth dengan tatapan heran, seringai mengejek berkedut di bibirnya. "Lebah? Apa yang bisa kulakukan dengan lebah?"
"Ini caraku menghasilkan kekayaan, My Lord. Jangan cepat mengejek sesuatu yang tak kau ketahui."
Eirik meletakkan dokumen itu ke meja, lalu mengetukkan jari-jarinya di depan mulut sambil bersandar di kursi dan mengamati Eadyth dengan saksama. Akhirnya ia bicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ini mengesankan, sungguh... mas kawin yang kau tawarkan. Dan mengejutkan. Aku tak mengira bahwa Hawk's Lair adalah kastil yang kaya."
Eirik tersenyum. Senyum yang manis, pikir Eadyth. Dan Eadyth melihat mata Eirik yang sangat ekspresif berbinar senang. Sungguh, Eadyth bisa mengerti kenapa wanita bertekuk lutut di kaki Eirik jika pria itu menunjukkan pesona mematikan ini ke arah mereka.
"Apa raja tahu tentang kekayaanmu? Tentunya, dewannya akan tertarik untuk menarik pajak yang lebih tinggi dari kekayaanmu."
Eadyth bergidik dengan sindirannya yang telak. "Hawk's Lair adalah lastil kecil, tapi aku menggunakan setiap bagiannya dengan efisien. Setiap kekayaan yang kuperoleh, berasal dari bisnis lebahku. Beberapa tahun terakhir ini sangat menguntungkan karena reputasiku sudah terkenal sebagai pembuat arak, madu dan lilin lebah yang berkualitas. Lilin penanda waktu adalah produksiku yang paling menguntungkan."
"Kau menjualnya sendiri?"
"Ya, benar. Aku punya agen penjual di Jorvik, tapi aku selalu memeriksa orang-orang yang mengurus bisnisku, menurutku itu tindakan yang bijak."
Eirik tergelak dan menggeleng tak percaya.
Eadyth bergidik. "Kau menganggap lucu bisnis yang baik."
"Bukan, aku menganggap kau lucu, My Lady, dan banyak kontradiksimu."
"Kenapa begitu?"
"Kau datang menerjang kastilku, tak di undang, dengan bulu tegak siap berperang seperti seekor landak. Kau menghina anjingku, ale-ku, diriku dan integritasku, tapi kau memintaku untuk menikah denganmu. Kau seorang bangsawan, tapi kau rela mengotori tanganmu dengan berdagang sendiri. Dan..." ia bimbang, tampaknya berpikir ia sudah keterlaluan.
"Dan apa? Jangan berhenti. Mari kita saling bersikap jujur."
"Well, kudengar orang sering menyebutmu sebagai 'Perhiasan Perak dari Northumbria' karena kecantikanmu, tapi aku tak melihatnya."
Eadyth meringis pada penilaian Eirik yang kasar tapi jujur. Sejujurnya ia memang berusaha menyembunyikan kecantikan apa pun yang masih dimilikinya. Seharusnya tak penting apakah Eirik menganggapnya lebih dari sekadar tak menarik, tapi entah kenapa ia peduli. Itu hanya sisa dari harga diri wanitanya, pikir Eadyth. Ia menegakkan bahunya dan bertanya, "Apa ada lagi?"
"Ya, ada," Eirik berhenti sebelum melanjutkan, "Kau bersikap seperti seorang biarawati yang tak pernah mengangkangkan kakinya untuk seorang pria, tapi aku diberitahu bahwa kau liar semasa mudamu. Aku tak bisa membayangkan wanita sepertimu menahan berat badan seorang pria apalagi mengandung anak haram."
Eadyth memejamkan matanya sejenak, mempersiapkan diri mengenai topik pembicaraan akan putranya Jhon. Ia tahu anaknya pasti akan dibicarakan kalau Eirik setuju menikahinya. Lagi pula, anak itu adalah alasan ia harus melangkah menuju ikatan yang tak disukainya ini. Tapi Eadyth berharap ia bisa membahas topik ini pada saat ia merasa siap.
"Ya, aku punya seorang putra," akhirnya Eadyth mengakui, matanya menatap langsung ke arah mata Eirik.
"Apakah Jhon akan menjadi halangan dalam pernikahan ini?"
Eirik menelusuri gobletnya dengan jarinya yang kokoh sambil mengamati Eadyth lebih saksama. Eadyth melihat jari kelingkingnya hilang, terpotong dari dasarnya sepertinya sudah lama sekali, dan ia bertanya-tanya apakah ia kehilangan jari itu dalam pertempuran atau karena kecelakaan. Spekulasinya terusik saat Eirik melanjutkan ucapannya dengan perlahan, dengan kata-kata yang sepertinya dengan hati-hati dipilih.
"Kalau aku bertemu wanita yang ingin kunikahi, seorang anak tak akan menghalangiku. Aku tak membantah bahwa aku lebih suka mempunyai istri seorang gadis perawan, tapi aku tak berhak menilai. Aku juga disebut orang sebagai anak haram, dan aku punya putri kandung di luar pernikahan." Eirik menyeringai malu.
"Sepertinya kita mempunyai ikatan nasib yang sama."
Eadyth menggemeretakkan gigi dan mengepalkan tangannya begitu erat sehingga kuku jarinya menancap ke telapak tangannya yang halus. Ia ingin memberitahu apa yang dipikirkannya tentang fakta bahwa Eirik punya dua anak di luar pernikannya. Bukan salah Eadyth jika putranya terlahir di luar pernikahan. Tapi Eirik, seorang pria tak menikah, bisa memberi legitimasi pada kedua putrinya. Oh, betapa inginnya Eadyth memberitahu pria itu bahwa satu-satunya ikatan yang sama yang mereka miliki adalah pria-pria bejat tak bermoral yang berpikir alat vital mereka adalah hadiah dari Tuhan yang harus dihujamkan ke setiap gadis, yang sama-sama menghiasi jalan hidup mereka. Eirik membuatnya jijik. Eadyth, lebih dari yang lain, tahu betapa wanita bisa menderita dari bercinta di luar pernikahan, bahkan ketika janji-janji yang diumbar begitu banyak.
Tapi ia tak bisa menyuarakan pemikirannya. Tidak sekarang. Ia harus mendapatkan persetujuan pria itu untuk menikah. Begitu mereka menikah, kalau mereka menikah, baru Eirik akan mendapatkan semua pendapatnya tentang caranya mendapatkan dua anak haramnya.
Ia memaksakan suaranya terdengar sopan saat bertanya, "Oh? Dan di mana anak-anakmu?"
"Larise tinggal tak jauh bersama Earl Orm dan keluarganya. Umurnya delapan tahun."
"Apakah dia akan tinggal bersamamu sekarang setelah kau kembali dari Northumbria?"
Eirik mengangkat bahunya tak pasti. "Aku belum tahu. Tergantung apakah aku memutuskan untuk tinggal di Ravenshire."
Tak punya hati? Pikir Eadyth. Teganya pria itu menelantarkan putrinya yang masih kecil untuk diasuh orang lain? Malangnya anak itu! Dan apa tadi yang dikatakannya tentang tak akan tinggal di Ravenshire? Mungkin kepergiannya akan menguntungkan Eadyth kalau mereka manikah. Ia tak ingin ada suami yang merepotkan yang mencampuri kebebasannya.
"Dan anakmu yang lain?"
Sekilas duka menyelimuti mata Eirik. "Emma baru berusia enam tahun. Dia tinggal di panti asuhan di Jorvik, sejak umur tiga tahun. Paman angkatku Selik dan istrinya Rain, adik tiriku, mengasuhnya di sana." Suaranya sedikit pecah oleh emosi.
Kata-katanya membingungkan Eadyth. "Tapi kenapa panti asuhan untuk anak sekecil itu, dan bahkan bukan panti asuhan sesungguhnya?"
Ekspresi Eirik menjadi muram saat ia menjawab dengan terus terang, "Aku sering meninggalkan Ravenshire dalam waktu lama dan tak ada rumah untuk tempat tinggalnya. Lagi pula, Emma tak bisa bicara, dan dia mendapat perawatan khusus dari Rain, seorang tabib yang mahir." Lalu Eirik tampak tegang dan berkata dengan tegas, "Aku tak mau membicarakan Emma."
"Dan ibu mereka? Tidak bisakah dia merewat mereka?"
"Kedua ibu anak itu sudah meninggal."
Kedua? Eirik tak hanya menelantarkan satu, tapi dua wanita. Dasar keparat bejat!
Tetap saja, Eadyth menahan lidahnya untuk melontarkan pendapatnya yang mencerca. Ia harus berhati-hati.
"Mungkin aku bisa menjadi jawaban doamu."
Eirik tersenyum lebar pada pilihan kata-katanya yang buruk, dan Eadyth terpikat, di luar kehendaknya, pada daya tarik kharismatik wajah tampan pria itu.
"Doaku? Kurasa tidak, My Lady."
"Maksudku," Eadyth bersikeras, "adalah kalau kau setuju menikah aku bisa merawat kedua anakmu."
"Dengan segala hormat, kurasa pernikahan terlalu mahal untuk sekadar merawat dua anak."
Sekadar merawat! Eadyth menyingkirkan rasa muaknya dan memandang tunik samite Eirik, yang dulunya berwarna biru safir, kini memudar akibat dimakan usia dan seringnyadipakai, dan hiasan emas di mantel luarnya sudah usang sehingga membentuk pola yang tak bermakna lagi. Sebuah bros naga emas yang indah dengan mata kuning menghiasi bahu dari mantelnya, tapi, secara keseluruhan, pakaian pria itu menunjukkan kemiskinan -- itu, ditambah lagi dengan dinding kastilnya yang mulai runtuh dan kurangnya pelayan untuk merawat kastil yang kotor itu. Lebih jauh lagi, Eadyth tadi melihat beberapa pondok petani yang kosong dan ladang-ladang yang tak lagi ditanami.
Ia memutuskan menggunakan pendekatan lain.
"Kalau boleh aku memberi saran, My Lord Ravenshire, mas kawin yang kutawarkan bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan manormu," sarannya, mengabaikan tatapan terkejut di wajah Eirik. "Aku tahu banyak tentang hal ini, kau tahu. Kalau kau tak berminat menjalankan kastilmu dan ingin kembali ke istana... atau... atau di mana pun... aku lebih dari sekadar bersedia mengatur urusanmu. Kau akan punya cukup koin untuk membeli kain baru untuk membuat pakaian yang indah dan mengisi gudang makananmu dan..." kata-katanya terputus saat ia menyadari tatapan tajam Eirik yang membuatnya ciut.
"Dan apa yang akan kulakukan saat kau... mengatur semua ini? Duduk bertopang dagu dan mengawasi kuku-kuku tumbuh?"
Eadyth hanya memandangnya, tak siap dengan respon ketus semacam itu atas tawarannya yang baik hati.
"Lady, kau melanggar batas. Apa kau begitu merendahkanku sehingga kau pikir aku tak mampu mengurus urusanku sendiri? Bagaimana aku akan menghabiskan waktuku? Minum ale? Meniduri setiap wanita yang kulihat?"
Ekspresi Eadyth pasti menampakkan apa yang dipikirkannya, memang, ia memikirkan apa yang dikatakan Eirik, karena Eirik mendengus keras sehingga menarik perhatian beberapa ksatria di aula yang ada di bawah panggung. Dengan menggemeretakkan gigi, Eirik membentak kesal, "Apakah kau akan menemukan cara meniduri dirimu sendiri di malam pernikahan? Karena sepertinya, kau tak butuh seorang pria."
Dengan sangat kecewa, Eadyth mendesah pasrah. Tampaknya pria itu tak akan menikahinya sekarang.
"Aku tak bermaksud lancang, My Lord. Kau salah dengan mengatakan bahwa aku tak butuh pria. Aku sangat butuh seorang suami. Oh, memang benar aku tak butuh pria di ranjangku. Sejujurnya, kalau kita menikah, kau boleh tetap berhubungan dengan semua kekasih simpananmu, aku tak peduli."
"Berapa tepatnya kau pikir kekasih simpanan yang kupunya?" tanya Eirik dengan takjub, tak lagi marah.
Eadyth mengibaskan tangannya di udara seolah-olah jumlahnya tak penting. "Kau punya reputasi meniduri banyak wanita, dan..."
"Meniduri banyak wanita?" Eirik tercekat. "Bersama-sama?"
"Jangan konyol," kata Eadyth, tapi kemudian wajahnya memerah membayangkan. Tanpa berpikir, ia berkomentar, "Aku tak menyadari bahwa itu bisa dilakukan, lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan."
Tawa Eirik pecah.
Eadyth mengkerut dicemooh seperti itu dan berusaha melanjutkan. "Aku tahu kau punya kekasih simpanan di Jorvik, dan, kalau ada lagi yang lain, itu tak masalah bagiku."
Eirik menaikkan satu alisnya terkejut. "Kau kenal Asa? Mata-matamu bekerja dengan baik, My Lady."
Eadyth mengangkat dagunya. "Itu tak penting. Aku tahu sekarang kau tak akan menikahiku. Tampaknya aku harus segera mulai mencari pria bangsawan yang lain dengan rambut hitam dan mata biru."
"Sungguh, kau membuatku tertarik, My Lady. Tolong jelaskan. Kenapa syarat itu yang dibutuhkan?"
Eadyth mulai ragu sebelum membicarakan putranya, Jhon dengan Eirik, tapi, karena peluangnya untuk menikah dengan Eirik kini sudah pupus, ia pikir Eirik mungkin bisa memberinya saran calon lain.
"Ayah putraku berubah pikiran setelah bertahun-tahun ini tidak mengakui Jhon sebagai anak. Ia mengajukan petisi pada Witan untuk memperoleh hak asuh atas Jhon untuk tujuan jahatnya sendiri. Aku perlu suami untuk melindungiku dalam pertarunganku. Dan"-- Eadyth kembali ragu, mempertanyakan sebanyak apa informasi yang bisa dipercayakannya pada Eirik--"dan kalau pria itu bersumpah dia adalah ayah Jhon itu akan membantuku, terutama jika dia memiliki rambut hitam dan mata biru pucat, seperti anakku. Seperti ayah kandungnya."
Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Ketika tawanya akhirnya berhenti, ia menggeleng, takjub pada pemikiran Eadyth yang licik. "Sepertinya kau sudah memikirkan semuanya. Tapi apa yang membuatmu berpikir dewan raja akan mengabulkan permintaan yang begitu terlambat untuk hak asuh dari ayah kandung?"
Eadyth mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk menjelaskan. "King Edmund mendukungku di Witan melawan... melawan laki-laki mengerikan itu selama bertahun-tahun ini, terutama karena menghormati ayahku yang melayaninya dengan setia, seperti yang dilakukan ayahku pada kakaknya King Athelstan sebelumnya. Luka yang di derita ayahku di pertempuran Leicester, saat mengabdi pada Edmund, membawa kepada kematiannya. Posisiku melemah setelah kematian ayahku."
"Edmund lelaki yang baik. Dia tak akan mengingkari janjinya untuk melindungi."
Eadyth mengangkat satu tangannya untuk mengindikasikan ada hal lain lagi. "Seperti yang kau tahu banyak usaha yang dilancarkan untuk membunuh raja, dan Steven, iblis keparat itu, menjilat Edred, yang akan menjadi ahli waris karena anak-anak Edmund yang masih begitu muda. Tak ada keraguan bahwa Steven akan sukses kalau Edred naik takhta."
Eadyth mendesah dan bersandar di kursi. Memejamkan matanya dengan lelah. Ia lelah setengah mati dengan semua gejolak ini, dan sekarang ia harus mulai mencari dari awal lagi. Setelah beberapa saat, Eadyth mulai menyadari keheningan Eirik yang janggal. Ketika Eadyth membuka matanya, ekspresi wajah Eirik menggelap karena amarah membuat Eadyth terpana, semua emosi itu tampaknya tertuju padanya.
"App-aa?" Eadyth terkesiap saat Eirik berdiri seketika tanpa peringatan, dan menyambar lengannya, mengangkatnya dari kursi dan dari atas lantai sehingga ia berhadapan dengannya, hidung dengan hidung, dengan kedua lengannya terpaku di kedua sisi tubuhnya.
"Ayah dari anakmu... apa mungkin maksudmu si nithing, Steven of Gravely?" tanyanya dengan suara dingin.
Eadyth mengangguk, menyadari ia pasti tidak sengaja menyebutkan nama Steven. Dan ia setuju bahwa Steven pantas mendapatkan penghinaan paling rendah, nithing - makhluk yang paling rendah dari semua manusia.
"Kau mengangkangkan kakimu untuk ular licik itu dan berani mempermasalahkan karakterku?"
Eirik mengguncangnya begitu keras hingga giginya gemeretak. Eadyth tahu ia akan memar-memar besok. Eadyth menatap mata es Eirik. sikap Eirik yang meledak-ledak menakutkannya, tapi ia tak mau membela dirinya di depan pria menyebalkan ini. Sejujurnya, hanya seorang wanita yang bisa mengerti apa yang dilakukannya dengan Steven dan kenapa penghianatan pria itu melukainya begitu dalam.
Akhirnya, Eirik melepaskan Eadyth. Sambil mengibaskan satu jarinya di depan wajah Eadyth, Eirik memerintah dengan suara yang tidak bisa di bantah, "Kau akan tinggal di kastil ini malam ini. Kita akan bicara lebih lanjut pagi besok saat aku punya waktu memikirkan semua yang kau katakan padaku. Astaga!Steven of Gravely! Aku bahkan tak bisa mensyukuri kebetulan ini."
"Aku mengerti." Benak Eadyth dipenuhi kebingungan.
"Kau tak perlu mengerti, Woman," katanya dengan masam, "tapi ketahuilah, sebaiknya kau memang sudah menyiapkan perjanjian pernikahan. Dan semoga Tuhan dan semua orang suci mengampunimu. Karena aku tidak."
Lanjut
Sinopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar